LELONO JIWO 2020
- Home
- Cerita Sex
- LELONO JIWO 2020
Heyy teman,
Setelah sebelumnya mendapat bisikan setan, ane menyerah untuk gagal posting dan akhirnya memilih untuk ikutan nulis cerita di LKTCP ini.
Semua isi cerita ini fiktif ya. Kalau kebetulan ada yang pas, ya berarti kalian emang udah punya bakat untuk jadi paranormal.
Udah ga pake lama silahkan dibaca cerita yang tidak bermanfaat ini. Efek samping setelah membaca tulisan ini, tidak ditanggung penulis ya
Sore ini langit menunjukkan wajah sendunya. Iring iringan orang yang tadi begitu ramai kini menghilang dan mulai terasa sepi. Sementara rintik gerimis masih saja enggan berhenti. Dan aku masih berdiri memandang nanar tulisan yang ada dihadapanku. Air mataku sudah kering tetapi naluriku masih berusaha menyangkal kenyataan yang terjadi. Dan disebelahku, orang yang kini tinggal satu satunya yang kusayangi, masih terisak sambil mengelus elus batu nisan.
ADI SUCIPTO
Lahir : 12 April 1971
Wafat : 19 Desember 2011
Ya.., takdir memutuskan bahwa hari ini bapakku harus kembali menghadap kepadaNya. Serangan jantung pada saat beliau bekerja membuat kami harus bisa menerima kepergiannya yang mendadak. Aku yang saat itu masih berada di sekolah langsung di jemput oleh Pakde. Sementara ibu yang ada di rumah, hanya bisa menangis histeris saat ada teman bapak yang datang menyampaikan kabar duka ini.
Namaku Agung Prasetyo. Sedangkan Ibuku bernama Sulastri. Kini hanya tinggal kami berdua yang akan melanjutkan hidup tanpa ada bapak di samping kami lagi.
Ku pegang pelan sambil ku elus pundak ibu. Mencoba memberi kekuatan pada beliau agar bisa ikhlas menerima semua ini. Sebagai anak satu satunya, aku harus bisa membantu ibu bersikap tegar.
Bu, ayo kita pulang, bapak pasti sedih kalau lihat ibu kayak gini ucapku pelan.
Ibuku hanya menggelengkan kepalanya. Tangannya masih saja memegang batu nisan sambil menangis.
Bu, ayolah. Ibu harus ikhlas. Masih ada aku yang akan menemani ibu. Sekarang kita pulang sambil nyiapin buat tahlilannya bapak nanti rayuku lagi.
Kali ini ibuku menoleh saat mendengar ucapanku barusan. Dipandanginya wajahku sambil menyeka air matanya. Bibirnya seolah mau berkata sesuatu tapi aku segera mengangkat tangannya dan membantunya berdiri.
Ibu tidak sendirian. Ibu harus kuat. Aku akan selalu menjaga ibu ucapku lagi sambil berusaha memeluk beliau. Memberinya ketenangan dan kekuatan. Ku coba menahan agar air mataku tak sampai keluar lagi. Aku tak boleh terlihat lemah. Aku harus kuat.
Ibuku hanya terisak dipelukanku. Lalu perlahan lahan ku papah ibu untuk mulai berjalan meninggalkan makam bapak. Angin yang bertiup agak kencang dan aroma bunga kamboja sedikit menegakkan bulu kudukku.
Langit kini mulai berubah menjadi agak gelap. Aku dan ibu berjalan perlahan sambil memilih jalan agar tidak sampai menginjak makam orang.
Sreeekkkk…
Sreeekkk…
Sepintas ku dengar suara seperti orang sedang menyapu. Ku alihkan pandanganku ke segala penjuru. Nihil. Lalu ku toleh ke belakang untuk memastikan apa yang ku dengar tadi. Namun hanya deretan batu nisan yang ku lihat. Tak ada satupun orang yang berada di area kuburan ini.
Bulu kudukku semakin berdiri.
Cepat cepat aku memapah ibu agar segera meninggalkan kuburan. Kami harus secepatnya tiba di rumah untuk mempersiapkan acara tahlilan nanti.
*****************************************
Tahlilan adalah suatu ritual pemanjatan doa bersama bagi seseorang yang sudah meninggal. Biasanya dilakukan selama 7 hari berturut turut. Waktunya bisa dilakukan antara habis ashar sampai habis isya. Tahlilan dilakukan oleh keluarga yang mengalami musibah kematian untuk memperingati atau mengenang almarhum / almarhumah. Urut urutan tahlil adalah 3 hari , 7 hari , 40 hari , 100 hari , 1 tahun , 2 tahun dan terakhir 1000 hari. Namun tidak semua daerah melakukan tahlilan ini. Ada beberapa daerah yang meyakini tidak perlu diadakan tahlil. Hal ini dikarenakan perbedaan keyakinan yang sudah terlanjur melekat pada masyarakat. Dalam ajaran agama pun tidak disebutkan hukum melakukan tahlil. Jadi semuanya tergantung masyarakat bagaimana menyikapinya.
Setelah selesai melakukan tahlil, aku lalu bergegas ke kamar. Perasaanku masih campur aduk antara percaya dan tidak. Kepergian Bapak untuk selamanya, benar benar memukul jiwa dan ragaku. Semakin aku berusaha menyangkalnya, semakin dalam pula kesedihan yang ku rasakan.
Sekitar satu jam kemudian, aku baru keluar kamar. Suasana rumah mulai tampak sepi. Hanya ada beberapa orang yang terlihat masih diluar. Mungkin mereka akan begadang. Ku lihat kamar ibu masih menyala terang. tampaknya beliau juga masih belum tidur.
Ku langkahkan kaki menuju kamar ibu. Namun begitu aku hendak membuka pintu, terdengar suara isak tangis dari dalam. Aku hanya berdiri mematung. Suara tangis ibu menambah perih yang ku rasakan. Segera aku berbalik badan dan menuju kamarku lagi. Ku tumpahkan lagi air mataku.
Kenapa Bapak pergi secepat ini ratapku pilu dalam tangis.
Tanpa terasa malam semakin larut. Suara orang orang yang ada di luar rumah tak terdengar lagi. Sementara aku masih belum bisa memejamkan mata karena mataku terasa sembab kebanyakan menangis.
Took Took Tokkk..
Terdengar suara jendela kamar diketuk. Siapa gerangan yang mengetuknya malam malam begini ?
Dan aku masih malas untuk beranjak dari tempat tidurku.
Took Took Tokkk..
Suara ketukan itu terdengar lagi.
Siapa? tanyaku lalu turun dan membuka jendela.
Namun tak ada seorang pun yang ku lihat begitu aku membukanya. Ku tolehkan kepala sambil bersijingkat mencari orang yang tadi mengganggu istirahatku. Kosong. Tak ada apapun yang ku lihat, hanya hembusan angin malam yang menerpa tubuhku.
Dasar orang kurang kerjaan sungutku lalu menutup jendelanya lagi.
Begitu aku hendak merebahkan badan, suara ketukan itu muncul lagi.
Took Took Tokkk..
Siapa sih yang kurang ajar begini ucapku kesal lalu membuka lagi jendelanya.
Namun tetap saja tak ada satupun mahluk yang terlihat.
Jangan usil dong. Nggak lucu tau teriakku lantang sambil menutup agak keras jendela kamarku.
Begitu aku melangkahkan kaki balik ke ranjang, suara ketukan itu terdengar lagi. Kali ini bulu kudukku langsung merinding. Teringat akan suara yang tadi sempat ku dengar saat berada di kuburan, ditambah ketukan yang misterius ini membuat darahku berdesir.
Jangan jangan itu ……….
Aku langsung meloncat ke ranjang, menutup seluruh tubuhku dengan selimut dan komat kamit membaca doa sebisaku.
*****************************************
Keesokan harinya aku menceritakan ke ibu apa yang ku alami tadi malam. Namun ibu bersikap dingin dan dari raut wajahnya masih terpancar kesedihan yang mendalam. Aku jadi merasa tak enak hati.
Rasanya lebih baik kalau aku tidak usah membuat pikiran Ibu semakin kacau.
Hari ini hari ketiga setelah kematian bapak. Aku masih meminta izin untuk tidak masuk sekolah. Syukurlah guru guru biasa memahami keadaanku. Jadi aku bisa menenangkan diri dan bisa menjaga ibu di rumah.
Tak ada kejadian aneh lagi yang ku alami. Mungkin aku hanya terbawa pikiran. Toh semuanya masih berjalan normal normal saja. Hanya suasana berduka yang sangat terasa di rumah.
Entah kenapa tiba tiba aku merasa kangen sama almarhum bapak. Mungkin habis ini aku mau mengunjungi makamnya. Saat ini hanya doa yang bisa mengobati rasa rinduku padanya.
Bu, aku mau ke bapak dulu. Mau berdoa ucapku meminta izin pada ibu sambil mencium tangannya. Ibu hanya mengangguk mengiyakan.
Lalu aku segera bergegas. Senja mulai datang. Aku tidak mau kemalaman saat sampai disana nanti. Sekitar 10 menit aku sudah sampai di area makam Bapak. Begitu sampai di depan pintu masuk kuburan, aku langsung mengucap salam dalam hati untuk semua penghuni yang ada disini.
Aku segera melangkahkan kaki menuju tempat dimana bapak beristirahat dalam keabadiannya. Namun ada pemandangan aneh yang ku lihat. Ada sebuah kendhi di atas gundukan tanah makam bapak. Siapa gerangan yang menaruhnya ya, batinku.
Saat ku ambil kendhi itu sontak aroma amis langsung masuk ke dalam hidung.
Hueeekkk..
Aku menahan muntah saat menciumnya. Lalu ku letakkan kembali kendhi itu dan ..
Jeduuukkk….
Ku tendang sampai ambyar kendhi itu ke arah barongan yang bersebrangan dengan makam bapak.
Pasti perbuatan orang iseng, pikirku.
Lalu aku segera duduk bersimpuh di dekat nisan dan mulai khusyuk melantunkan doa doa buat bapak. Semoga segala dosa dosa bapak diampuni dan semua amal ibadahnya diterima oleh Yang Maha Kuasa.
Saat sedang khusyuk berdoa, sayup sayup ku dengar suara seorang perempuan sedang nembang. Entah lagu apa yang dinyanyikannya, aku berusaha mengabaikannya karena fokusku saat ini sedang mendoakan bapak. Aku juga merasa ada sepasang mata dibalik pohon besar yang tumbuh di samping kuburan sedang mengawasiku. Aku berusaha membuang rasa takutku sambil memejamkan mata melanjutkan doa.
Setelah selesai, aku pun menaburkan bunga yang tadi sempat ku bawa dari rumah. Lalu segera bergegas pulang karena langit sudah mulai gelap. Tak lupa ku masukkan sedikit uang di kotak yang ada di depan pintu masuk makam untuk bersedekah.
Saat aku menoleh ke belakang hendak berpamitan pada penghuni kubur, samar dibalik rimbunan pohon bambu yang ada dibarongan, ku lihat ada gerakan tangan yang sedang melambai ke arahku. Tangan itu besar dan hitam. Namun tak kulihat badan dan wajahnya. Aku bergidik ngeri lalu tanpa babibu lagi segera berlari meninggalkan kuburan.
*****************************************
Nafasku terengah engah begitu sampai di rumah. Ibu yang melihat kedatanganku terheran dengan tingkahku.
Kenapa , Nak. Wajahmu kok pucat begitu ? tanyanya sambil menghampiriku.
Aku masih berusaha untuk mengatur nafasku sambil menyeka keringat di dahi.
Tadi di kuburan ada yang aneh, bu jawabku.
Aneh bagimana?
Waktu aku sedang berdoa, ada suara wanita yang nembang. Terus rasanya ada mata yang selalu mengawasiku. Dan waktu aku pulang ada tangan besar yang melambai seolah memanggilku ucapku panjang lebar.
Ku lihat ibu hanya terdiam mendengar ceritaku.
Bu, apa ibu tau kendhi yang ada di makam bapak? tanyaku lagi saat teringat akan kendhi yang ku tendang tadi.
Kendhi apa, Nak?
Kendhi biasa, Bu. Tapi di dalamnya ada bunga mawar dan air yang baunya sangat busuk
Kali ini ada ekspresi terkejut di wajah Ibu.
Terus kendhi itu sekarang dimana? tanya ibu lagi.
Tadi ku tendang ke arah barongan, Bu. Habis baunya menggangu sekali. Pasti perbuatan orang gila sahutku.
Ibu hanya menutup mulutnya dengan tangan saat mendengar jawabanku. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah.
Aneh sekali tingkah ibu. Apa ada yang disembunyikan oleh ibu ya, batinku bertanya tanya.
Ah sudahlah lebih baik aku segera mandi. Masih banyak yang harus ku kerjakan untuk acara tahlilan nanti.
*****************************************
Tangan itu kekar dan besar. Hampir 7x dari tangan manusia biasa. Sementara di sekujur lengannya, tampak bulu hitam legam dan kusut. Matanya yang seukuran dandang, menyalang merah dan tajam. Raut wajahnya tidak berbentuk lagi. Mulutnya menganga lebar sambil sesekali air liurnya menetes. Sekujur tubuhnya tampak hitam dengan ukuran raksasa.
Mahluk itu berjalan mendekatiku. Aku yang saat ini dalam kondisi berdiri terikat di kaki dan tangan, hanya bisa pasrah. Ku coba melawan ikatan malah menambah sakit yang terasa.
Begitu jaraknya dan jarakku sudah dekat, di elusnya pipiku dengan kuku kukunya yang tajam. Lalu tangannya bergerak perlahan dari atas ke bawah meraba raba tubuhku. Begitu sampai di perutku, kukunya yang tajam langsung menusukku. Aku hanya bisa meringis tanpa bisa berteriak karena mulutku tersumpal.
Lalu dikeluarkannya lagi kukunya, dengan gerakan berputar, kuku itu mulai menyayat lagi perutku.
Berulang ulang….
Dan ….
Blessss….
Ditusukkan lagi semakin dalam, membuat lubang yang lebih besar. Semakin lama semakin perih yang ku rasakan. Begitu lubang di perutku sudah membesar, jari jarinya langsung bergerak masuk meremas dan mencabik cabik organ dalamku.
Tangannnya yang ada didalam perutku kini ku rasa mulai bergerak naik menuju tenggorokan. Aku hanya bisa muntah saat tangan kasar itu tiba tiba keluar dari dalam mulutku berlumuran darah.
Huuueeekkkkkk……
Aaaaarrrrgggghhhh……
Aku hanya bisa berteriak merasakan sakit yang luar biasa.
Mataku melotot dan mulai berair saat tangan itu bergerak maju mundur di dalam mulutku lalu berbalik arah mencengkeram wajahku. Di dekatkan wajahnya ke leherku dan dalam sekali helaan nafas, sudah ada lubang menganga di leher dan daging yang terkunyah di mulut mahluk biadab itu.
Rasanya aku sudah mau mati.
Pandanganku terasa gelap dan semakin kabur.
Dan dengan satu gerakan cepat, mulutnya terbuka lebar hendak memakan kepalaku.
Aku …
Sudah…
Siap…
Mati….
Aaaaaaaarrrgghhhhhh….
Hosssshh Hoooshh hossshh….
Nafasku kembang kempis tak beraturan. Keringat bercucuran di dahi dan tubuhku.
Ternyata ini cuma mimpi……
*****************************************
Tanpa terasa sudah 20 hari berlalu sejak bapak meninggal. Keadaan rumah kini semakin sunyi. Ibu kadang masih sesenggukan dan lebih memilih menyendiri di kamarnya. Aku pun tak tahu harus berbuat apa lagi untuk menghiburnya.
Tentang mimpi buruk itu pun aku belum sempat bercerita ke ibu. Mungkin lebih baik ku pendam saja cerita ini. Tetapi naluri ku mengatakan bahwa aku harus mengatakan semua ini kepada ibu.
Biarlah ku tunggu saat itu akan tiba.
Nak, ibu pengen ngobrol berdua denganmu ucap Ibu suatu ketika melihat aku saat ini sedang bersantai.
Tumben nih, pikirku.
Ku lihat sudah tak tampak lagi duka yang menggelayut di wajah ibu.
Sudah sebulan berlalu sejak kematian ayah, baru sekarang ku lihat wajah ibu sudah seperti biasanya. Mungkin ini saatnya aku akan bercerita tentang mimpi itu.
tentang apa, bu?
Sudah ibu fikirkan dengan matang, lebih baik kita pindah saja ke rumah kakekmu di desa sebelah
Aku sedikit terkejut dengan ucapan ibu barusan.
Kenapa harus pindah?
Ibu sudah tak sanggup lagi kalau berada disini. Itu hanya akan mengingatkan ibu pada almarhum bapakmu. Lagi pula dulu ibu mendapat amanah dari kakek, bahwa ibu harus menempati rumah itu. Karena dulu bapakmu sudah membangunkan rumah ini untuk ibu, jadi ibu belum bisa memenuhi wasiat dari kakek. Sekaranglah saat yang tepat, Nak. Ibu tak mau lagi hidup dalam bayangan semu bapakmu. Akan lebih baik kalau kita mulai menata hidup kita lagi dari awal disana
Aku hanya terdiam mendengar penjelasan ibu. Di satu sisi aku berat meninggalkan rumah ini karena sejak lahir sampai sekarang aku sudah berada disini. Di sisi lain aku juga harus bisa memahami dan membantu ibu agar bisa hidup normal lagi tanpa bapak. Walau berat, aku harus bisa mengutamakan keinginan Ibu.
Iya bu
Kamu tidak apa apakan, nak?
Aku hanya tersenyum.
Kan aku pernah bilang kalau aku akan selalu menjaga Ibu ucapku pasti.
Ibu lalu tersenyum. Di elus elusnya kepalaku sambil menciumi keningku.
Jadi kapan kita pindahnya, bu?
Besok, nak
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Bu…. ucapku ragu.
Kenapa nak?
Aku jadi agak sedikit bimbang untuk menceritakan mimpi buruk tempo hari itu.
Hmm tidak apa apa, bu. Ibu cantik kalau tersenyum gitu
Ibu lalu memelukku dan kembali menciumi keningku. Ada rasa nyaman yang ku rasa.
Pelan tapi pasti kami akan berjuang hidup tanpamu, Pak. Bapak beristirahatlah yang tenang di surga. Ibu akan selalu ku lindungi dan ku jaga, janjiku dalam hati.
*****************************************
Rumah itu asri dan sejuk. Bangunannya masih terlihat bagus walaupun bentuknya seperti rumah rumah jaman dulu. Halamannya pun cukup luas. Hanya saja rumah peninggalan kakek ini letaknya di ujung. Walau begitu, lingkungan disini agak ramai. Banyak anak anak kecil yang suka bermain di depan rumah ini.
Begitu kami sampai, aku segera meletakkan barang bawaanku ke kamar. Sebelumnya rumah ini sudah dibersihkan oleh orang suruhan Ibu. Jadi kami tidak perlu capek capek lagi membersihkannya.
Rumah ini hanya memiliki 2 kamar. Karena Ibu sudah memilih kamar yang terletak agak di belakang, mau tak mau aku harus menempati kamar yang di depan. Cukup nyaman ku rasakan walau aku agak kurang sreg saat pertama kali melihatnya.
Ah sudahlah. Aku tak boleh mengeluh soal ini. Yang penting adalah bagaimana caraku agar aku dan ibu bisa nyaman tinggal disini. Masalah yang lain, bisa ku bicarakan dengan ibu nanti.
Sebulan sudah kami menempati rumah peninggalan kakek ini. Kehidupan kami sehari hari juga berangsur angsur mulai tampak lebih berwarna. Ku lihat ibu sudah mulai terbiasa menjalani rutinitasnya yang baru. Aku pun demikian. Walau harus menempuh jarak agak jauh dari sekolahku, tak kurasakan sebagai hambatan yang berarti.
Tentang mimpi buruk itu, sudah ku lupakan. Hanya ku anggap sebagai bunga tidur biasa. Toh semenjak itu aku tak pernah mengalaminya lagi. Jadi buat apa menceritakan ke ibu mimpi yang hanya sekedar lewat itu.
Aaarrggghhhh….
Hosh .. hosh
Fiiiuuhhhh….
Aku terbangun dengan nafas tersengal sengal. Ah sial , mimpi ini terulang kembali. Semenjak aku sudah melupakannya, baru kali ini mimpi itu datang lagi. Keringat yang membasahi baju, membuatku merasa hal itu benar benar nyata. Ku pejamkan mata lagi sambil mencoba menenangkan fikiran. Pelan ku atur irama nafas sambil memegang dada yang masih terasa berat.
Fiiiuhhh….
Lalu sambil menegakkan badan,ku alihkan pandangan ke arah atas pintu. Hmmm… jam dinding masih menunjukkan angka 2 rupanya. Padahal baru sejam yang lalu aku memejamkan mata, tapi sekarang sudah terbangun lagi. Ku hirup lagi secara perlahan udara malam yang masuk melalui lubang lubang angin di dalam ruangan ini.
Sekarang sudah terasa agak lebih tenang.
Setelah sejenak meminum air putih yang memang selalu ku letakkan di atas meja sebelah kasurku, ku langkahkan kaki menuju jendela. Samar terlihat warna oranye yang terang menyala. Lalu ku sibak tirai yang menutupi jendela ini untuk melihat lebih jelas lagi apa yang terjadi di luar sana.
Terlihat 2 orang sedang duduk menghadap ke kobaran api. Mas Joko rupanya. Entah siapa satunya lagi aku tidak mengenalnya. Jarak mereka hanya beberapa meter dari lokasi makam yang mereka jaga. photomemek.com Ini sudah hari ketiga mereka melakukannya. Menjaga makam Mbah Siman, orang tua Mas Joko yang meninggal 3 hari yang lalu. Mbah Siman wafat tepat di hari tahun baru islam, saat beliau sedang melakukan pekerjaannya di sawah.
Lalu kenapa makam Mbah Siman harus dijaga ? Ini semua berdasar pada keyakinan masyarakat jawa yang masih memegang teguh aliran kejawen. Orang yang meninggal tepat di saat malam jumat legi, biasanya paling dicari oleh para lelaku. Entah itu mengambil potongan rambut dari sang mayat, mengambil sobekan kain kafan yang membungkus jenazahnya atau bisa juga menyimpan tali pocongnya. Tergantung bagaimana persyaratan yang harus dipenuhi oleh para lelaku tadi. Itulah sebabnya makam Mbah Siman ini di jaga selama 7 hari berturut turut untuk menghindari hal hal yang tidak diinginkan terjadi.
Dan yang bikin aku sebenernya bergidik ngeri saat pindah kesini adalah letak kamarku ini hanya berjarak 3 meter dari area makam. Hanya ada tembok kecil setinggi 1 meter yang memisahkan rumahku dengan kuburan. Jadi begitu membuka jendela, otomatis pemandangan pertama yang terlihat tentu jejeran batu nisan serta aroma wangi bunga kamboja yang tumbuh mengelilingi makam.
Aku jadi teringat akan lambaian tangan dibalik barongan saat itu.
Hiiiiihh …
Mengingatnya lagi justru membuatku ketakutan.
Setelah puas mengisi paru paruku dengan udara malam, aku tutup lagi jendelanya. Melihat pemandangan di depan, malah membuat bulu kudukku semakin merinding. Lebih baik aku tidur lagi dan melupakan mimpi buruk itu. Ku rebahkan lagi tubuhku sambil sesekali memainkan kedua kelopak mata agar secepatnya bisa mengantuk lagi. Semoga subuh segera datang sehingga malam mengerikan ini cepat berlalu.
*****************************************
Tak ada yang spesial saat ku jalani hari ini. Padatnya tugas tugas sekolah membuatku bisa melupakan mimpi buruk tadi malam. Begitu jam pulang berbunyi, aku segera bergegas melangkahkan kaki keluar sekolah.
Jangan kalian berharap aku akan menikmati hari hari dengan seorang gadis karena saat ini aku sedang ingin sendiri. Lagipula ujian kelulusan hanya tinggal 2 bulan lagi. Waktu yang luang lebih baik digunakan untuk belajar daripada pacaran.
Begitu sampai rumah, berbagai kewajiban sudah menunggu. Sampai akhirnya, rasa lelah yang mendera membuatku tanpa sadar tertidur di sofa.
Suara adzan magrib yang nyaring membangunkanku dari tidur. Segera ku langkahkan kaki ke kamar mandi sebelum omelan ibu terdengar.
Begitu selesai mandi ternyata suasana rumah masih sepi. Mungkin ibu sudah berada di rumah Mbah Siman untuk membantu mempersiapkan acara tahlilan. Lebih baik ku kerjakan PR matematika daripada tak tahu harus melakukan apa. Lagipula nanti jam 7 ada acara sepak bola di televisi.
Tepat jam 10 aku mulai merasakan kantuk. Ku matikan televisi dan segera menuju ke kamar. Namun kegelisahan tiba tiba datang. Rasa takut akan mengalami mimpi buruk kembali membayangi. Ku coba untuk menepis segala pikiran aneh itu dan ku yakinkan diri takkan terjadi apa apa malam ini.
Sayup sayup terdengar suara seorang perempuan sedang nembang. Mungkin suara ibu yang ada di kamar. Ku coba untuk mempertajam indera pendengaran sambil menikmati lagu yang terdengar asing itu.
Njeng Pangeran dipikul ana ing tandhu,
Nanging pijer ora eling,
Sawise adoh lan mungsuh,
Lan wis ora nguwatiri,
Padha leren alon-alon.
Nuli clathu amit sadaya priyantun,
Kula parenga nyelaki,
Badhe tumut urun rembug,
Sukur saged anjampeni,
Wong-wong sing weruh malenggong.
Nalikane mripat iki wis ketutup,
Nana sing bisa nulungi,
Kajaba laku kang luhur,
Kang ditampi marang Gusti,
Aja ngibadah kang awon.
Suara itu begitu merdu dan indah. Seolah menghipnotis dan membuatku terhanyut akan lantunan liriknya. Begitu damai ku rasakan saat ini. Dan suara itu masih terus terdengar hingga membuatku menjadi terlelap.
Tak lama ku dengar suara gamelan dan gendang saling bersahutan. Hmm … mengganggu saja, batinku. Mungkin ada yang punya gawe sekarang. Hal yang lumrah terjadi di pedesaan bila ada yang sedang punya hajatan, ada hiburan wayang untuk warga sekitar.
Lambat laun suara gamelan itu terdengar semakin kencang. Aku jadi penasaran ingin melihatnya. Lagipula rasa kantuk kini entah kenapa langsung menghilang.
Aku segera bergegas keluar rumah. Udara dingin malam langsung menyambut. Kutelusuri jalan sepi menuju tempat dimana wayang itu di adakan. Dan benar saja, kini di hadapanku terlihat begitu ramai. Berbagai orang tampak sibuk dengan kegiatannya masing masing. Tampaknya ini semacam pasar malam.
Lumayanlah bisa untuk hiburan, pikirku.
Aku berjalan santai sambil menikmati apa saja yang ku lihat. Ada yang sedang menjajakan dagangannya, ada anak kecil yang merengek pada orang tuanya, ada pula yang hanya duduk sambil bercengkrama.
Nak….
Tiba tiba saja ada yang menepuk pundakku dari belakang. Aku sempat terlonjak kaget dan segera berhenti lalu menoleh untuk melihat siapa yang memanggilku tadi.
Kini dihadapanku tampak seorang kakek kakek yang agak bungkuk. Ada sebuah blangkon berwarna coklat menutupi sebagian rambutnya yang sudah putih semua. Kumisnya juga tampak lebat dan juga sudah berwarna putih. Pakaiannya sebuah kemeja coklat belang hitam yang tampak senada dengan blangkonnya. Dan celana kain warna hitam serta sandal kulit melengkapi penampilan sosok yang asing ini.
Maaf kakek siapa?
Ku lihat beliau hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.
Kenapa kamu ada disini, nak? tanyanya lagi.
Lah aneh bener kakek ini. Ditanya malah balik nanya.
Lagi jalan jalan saja, kek kataku datar sambil memperhatikan lebih detail dan mencoba mengingat siapa kakek dihadapanku ini.
Sekali lagi beliau hanya tersenyum.
Ayo temani kakek saja, nak. Kakek lihat tampaknya kamu butuh teman bicara
Mendengar jawaban Kakek itu aku hanya bisa mengiyakan. Kami berdua lalu berjalan bersama sambil saling bertanya jawab.
Suroso namanya. Menurut pengakuannya, beliau tinggal di desa sebelah. Pantas saja aku tidak mengenalinya. Mbah Suroso kini hanya seorang diri. Anak cucunya telah pergi dalam sebuah kecelakaan tragis 10 tahun lalu. Sejenak aku ikut merasa iba mendengar cerita Mbah Suroso ini. Mungkin di lain waktu aku bisa main ke rumahnya untuk sekedar menemaninya.
Sambil tetap melanjutkan jalan jalanku ini, aku sedikit merasa ada yang janggal. Meski sibuk dengan aktifitasnya masing masing, ku lihat hampir semua orang disini memiliki tatapan yang kosong. Tak tampak raut kesegaran di wajah mereka. Sesekali juga tercium bau wangi saat aku melintasi tempat tertentu. Namun ku coba menepis segala tanya yang menyelimuti. Toh ada Mbah Suroso juga disampingku. Kenapa aku harus merasa takut ??
Tiba tiba terdengar suara gamelan yang berbunyi keras saling bersahutan. Suaranya sangat gaduh. Dan semua orang seolah tersirep dan langsung menghentikan aktifitasnya.
Ada apalagi ini ?? batinku.
Lalu yang membuatku agak kaget adalah seketika mbah Suroso mencengkeram lenganku dengan erat sekali.
Waktunya hampir tiba, nak. Siapkan dirimu dari segala kemungkinan yang akan terjadi ucapnya pelan sambil tetap memegangiku.
Aku yang tak paham dengan maksud beliau hanya diam saja. Sejenak ku atur nafas sambil tetap menatap lurus ke depan dan mengikuti setiap langkah perlahan Mbah Suroso.
Dari jauh terlihat suatu gerakan mulai menghampiri kami berdua. Ku pertajam indra penglihatanku untuk melihat lebih jelas apa dan siapa sesuatu yang masih samar itu.
Degh…
Dalam hitungan detik, bibirku terasa kelu. Jantungku berdetak semakin cepat. Aliran darah kurasa membeku. Mataku menatap nanar apa yang ada di hadapanku saat ini.
Wajah itu hanya berjarak 20 cm dihadapanku. Dahinya tampak tergores dengan ulat ulat kecil yang masuk ke dalam luka. Pipinya mengeluarkan cairan seperti nanah dan agak masuk kedalam dengan tulang yang tampak menyembul. Bola mata kanannya kosong dan ada jahitan di kelopak mata kirinya. Hidungnya pun sudah tidak berbentuk lagi dengan kapas menutupi lubang hidung. Bibir dan mulutnya tampak rungsep seperti habis terkena benturan. Ada gigi yang menonjol keluar. Dagunya agak lonjong ke bawah dengan banyak luka sayatan. Sementara badannya di selimuti kain putih lusuh yang masih nampak tali yang mengikatnya.
Bulu kudukku langsung berdiri. Mata kiri itu masih terus mengamati dan menatapku tajam. Sementara wajahnya yang berwarna agak kehijauan semakin di dekatkan ke arahku.
Ku lihat dia tersenyum menyeringai. Lalu perlahan dia agak membungkuk dan memiringkan wajahnya sambil sesekali terdengar suara nafas yang berat. Bau anyir dan amis langsung tercium. Sungguh aroma yang sangat busuk sekali. Dan anehnya tanganku seolah olah tak bisa ku gerakkan untuk menutupi hidung. Rasa mual mulai ku rasa. Sebisa mungkin aku menahan diri untuk tidak muntah dihadapannya.
Dia masih tampak sibuk mengamatiku sambil mendengus menciumi aroma tubuhku. Gerakan kepalanya masih saja bergerak ke kanan ke kiri tepat di wajahku.
Sungguhi rasa ini sudah tak bisa ku tahan lagi.
Aku..
Aku..
Mau…
Muntah…
Ingin rasanya aku muntah, berteriak dan lari dari mahluk ini. Namun tak ada kekuatan sama sekali di tubuhku. Segala daya terasa lenyap tak tersisa.
Entah berapa lama keadaan ini terjadi . Tubuhku masih saja terdiam kaku tak mampu bergerak lagi. Namun dalam sekali kedipan, ku lihat ada gerakan tangan lain yang mencoba membantu. Sepintas aku melirik Mbah Suroso mulai bergerak maju menarikku sambil melawan mahluk di depanku.
Pergi kau jahanam
Lantang Mbah Suroso berteriak sambil menarik narik tanganku mencoba menyadarkanku.
Mahluk itu hanya menatap sinis Mbah Suroso, lalu dia menatapku lagi. Ada senyum menyeringai ku lihat. Lalu dalam sekali hembusan nafas, dia pergi melompat zig zag dan menghilang dari pandanganku. Dan tak lama kemudian kesadaranku mulai pulih.
Aku hanya tercekat dan masih tak mempercayai apa yang baru saja terjadi.
Pocong !
Seumur hidup baru kali ini aku melihat secara langsung mahluk yang berwujud pocong. Jika selama ini pocong yang ada di televisi digambarkan berwajah pucat dan putih, mungkin itu hanya imajinasi tim kreatifnya saja. Apalagi biasanya sang pocong dibuat melompat lompat ke arah depan. Sungguh sangat jauh berbeda dengan apa yang ku lihat dan ku alami tadi.
Kamu tidak apa apa, nak?
Ucapan Mbah Suroso seakan mengembalikan lagi roh yang seakan pergi dari tubuhku sejak tadi.
Tidak apa apa, mbah. Matur suwun
Lebih baik sekarang kita pulang saja, nak. Ikut saja denganku. Kelihatannya kondisimu sedang tidak begitu baik saat ini ucap Mbah Suroso lagi.
Karena aku memang masih shock dengan kejadian barusan, tanpa pikir panjang aku lalu menganggukkan kepala. Ku lihat Mbah Suroso hanya tersenyum saja melihat aura kekakuan masih terlihat jelas diwajahku.
Ayo kita pulang, nak.
*****************************************
Rumah itu tampak asri dengan berbagai pohon besar yang tumbuh disekelilingnya. Halamannya pun cukup luas dengan beberapa tanaman hias yang berderet rapi diletakkan di kanan kiri rumah. Walaupun rumahnya kecil tetapi tidak mengurangi kenyamanan untuk tinggal disana.
Hari sudah beranjak siang. Aku masih termangu sambil duduk dibangku kayu yang ada di depan rumah Mbah Suroso. Pikiranku menerawang mengingat kejadian tadi malam. Sungguh sebuah pengalaman mistis yang akan sulit aku lupakan.
Masih saja melamun, nak. Ayo makan dulu
Aku menoleh ke arah sumber suara. Tampak wajah keriput Mbah Suroso sudah ada di depan pintu.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Iya Mbah kataku sambil beranjak bangkit dari tepat dudukku.
Dengan canggung aku masuk lagi ke dalam rumah. Tampak Mbah Suroso masih menata hidangan yang akan kami makan. Pikiranku sedikit bertanya tanya tentang siapa yang memasak makanan ini sebelumnya, saat ku lihat berbagai macam lauk dan sayur sudah tertata rapi di meja makan.
Siapa yang memasak semua ini, Mbah? tanyaku.
Ada seorang wanita baik hati, yang selama ini mengirimi aku makanan. Kadang pula dia memasakkannya langsung disini. Nanti kamu akan tau siapa dia ucap Mbah Suroso.
Aku hanya mengangguk mengiyakan. Lalu segera duduk dan mengambil makanan.
Mbah, apa pocong itu akan datang kembali? tanyaku lagi.
Mbah Suroso terdiam sejenak. Wajah terkejut tampak dia sembunyikan. Lalu sambil menyendok makanannya beliau mulai bercerita.
Kamu itu masa tidak sadar kalau tadi malam itu masuk ke alam lain. Semua yang kamu lihat itu adalah mahluk mahluk kasat mata bagi manusia biasa. Entah bagaimana caranya dan siapa yang membawamu ke tempat itu aku masih belum tahu. Yang jelas kamu sepertinya punya keistimewaan untuk bisa berinteraksi dengan mereka. Mungkin sebaiknya kamu tinggal disini dulu untuk membuat dirimu terbiasa dengan situasi seperti tadi malam. Karena bukan tidak mungkin, kamu akan di undang oleh mereka lagi
Penjelasan Mbah Suroso barusan membuatku tercekat.
*****************************************
Malam ini angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Suara daun daun yang bergesekan dengan ranting, menambah kesan mistis yang terjadi. Aku yang masih belum bisa memejamkan mata, mulai gelisah. Entah kenapa perasaanku tidak menentu. Perlahan aku mulai bangkit dari ranjang dan melangkah keluar dari kamar.
Ku lihat kamar Mbah Suroso juga tampak gelap. Mungkin beliau sudah terlelap. Aku lalu menuju pintu untuk keluar menikmati udara malam di teras rumah.
Tak ada yang aneh saat aku sudah duduk di kursi. Hanya bunyi daun yang terkena angin yang ku dengar. Mungkin aku hanya terlalu lelah dan sedang berfikiran yang tidak tidak.
Ku rebahkan punggungku pada dinding kursi sambil menyelonjorkan kaki. Lalu ku coba untuk memejamkan mata.
Ssssssssshhhhhhh….
Ssssshhhhhhh….
Terdengar suara desisan di telinga. Aku mengerjap ngerjapkan mata sambil menoleh ke kanan kiri. Tak ada apapun ku lihat. Namun begitu aku melihat ke atas dahan pohon jati yang ada di depan, seketika jantungku berdegup kencang.
Ada mahluk berambut panjang tergerai yang sedang duduk duduk disana. Kakinya tampak berayun ayun. Wajahnya tak begitu jelas karena jarak pandangku agak jauh. Payudaranya tampak besar menggelantung sampai ke kaki. Sementara lidahnya menjuntai keluar melewati dahan tempatnya duduk.
Sssssshhhhh….
Sssshhhhhhh….
Desisan itu semakin kencang ku dengar. Entah mengapa tak ada daya di tubuhku untuk berajak dari kursi. Aku hanya bisa terdiam mematung melihatnya tanpa bisa melakukan gerakan apapun.
Ku lihat mahluk itu beranjak lalu terbang mencoba mendekatiku. Keringat dingin sudah mengucur deras di wajahku. Mahluk apa lagi ini ???
Namun dalam sekejab, ada sosok yang tiba tiba saja sudah ada di depanku.
Mbah Suroso …
Mulutnya tampak komat kamit seperti membaca mantra. Dan dengan satu gerakan cepat, dilemparkannya sebuah benda ke arah mahluk itu.
Plasssssshhh….
Mahluk itu langsung menghilang.
Mbah Suroso langsung berbalik menghadapku. Di usapnya wajahku berulang ulang sampai akhirnya kesadaranku kembali.
Aku hanya bisa terengah tengah sekarang. Sekujur tubuhku terasa lemas.
Ayo kembali lagi ke kamarmu, nak. Sepertinya kamu terlalu capek hari ini Mbah Suroso lalu meraih tanganku dan melingkarkan ke lehernya.
Kami lalu beranjak masuk ke dalam.
*****************************************
Mbah, aku mulai takut dengan semua kejadian ini. Apa ada jalan lain supaya aku tidak diganggu oleh mereka? tanyaku.
Kami sedang bersantai saat ini. Perut kami terasa kenyang setelah menyantap hidangan yang tadi disajikan oleh Mbak Lasmi.
Akhirnya aku sudah berjumpa dengan seseorang yang selama ini menyediakan makanan untuk kami setiap hari. Mbak Lasmi namanya. Perawakannya tidak tinggi hanya sebatas telingaku. Wajahnya tampak putih dan ayu dengan balutan kebaya dan jarik yang menyelimuti tubuh mungilnya. Rambutnya hitam dan di gelung khas wanita jaman dulu. Aku hanya bisa melongo saat pertama kali melihatnya. Sepintas dia mirip sekali dengan ibuku.
Mbah Suroso cuma menggeleng gelengkan kepala saat mendengar pertanyaanku barusan.
Nak, di dunia ini, semuanya berjalan tanpa ada kepastian. Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi nanti. Kamu belajar saja merasakan kehidupan ini. Toh semua itu akan ada masanya
Jawaban Mbah Suroso hanya membuatku tersenyum kecut.
Nanti kalau kamu sudah siap, Mbah akan perlihatkan sesuatu yang pasti membuatmu takkan bisa melupakannya ucap Mbah Suroso lagi.
Apa itu Mbah? tanyaku penasaran.
Nanti saja kalau kamu sudah siap.
Aku hanya termenung memikirkan ucapan Mbah Suroso. Apakah yang akan diperlihatkan Mbah Suroso kepadaku? apakah aku akan siap melihatnya?
Monggo diminum dulu tehnya, Mas ucap Mbak Lasmi tiba tiba dan itu sukses membuyarkan lamunanku.
Aku memandangnya sambil melongo sementara Mbah Suroso hanya terkekeh melihatku.
Biasa saja melihatnya, nak ucapnya menggodaku.
Aku langsung salah tingkah dan mereka lalu tertawa.
Sial.
Aku malu.
Mungkin 3 hari ke depan aku akan menyiapkan diri untuk itu, Mbah ucapku berusaha menetralisir perasaan dan keadaan.
Kamu yakin, nak?
Yakin
3 hari lagi memang purnama akan datang. Pas sekali rasanya kalau kita bisa melihatnya ucap Mbah Suroso sambil menerawang dan mengelus elus jenggotnya.
Apapun yang terjadi aku akan siap, Mbah kataku mantap.
Baguslah kalo begitu.
Lasmi nanti malam kamu kesini lagi ya. Tolong buatkan makanan yang tadi sudah ku tulis dan ku letakkan di meja makan ucap Mbah Suroso lagi ke Mbak Lasmi.
Nggeh, mbah balas Mbak Lasmi sambil menundukkan kepala lalu pergi meninggalkan kami.
Wah asyik nanti malam bisa ketemu Mbak Lasmi lagi.
*****************************************
Mbak Lasmi tampak begitu cantik malam ini. Aroma tubuhnya pun begitu wangi. Ditambah kebaya berwarna hijau dan jarik hitam yang dipakainya, menambah kuat daya tarik sensualnya.
Ku lihat dia sedang asyik memasak di dapur. Semerbak harum bumbu dan ikan yang diolahnya , menambah rasa lapar yang ku derita.
Mbah Suroso sendiri kelihatannya masih berada di kamarnya. Wah kesempatan untuk bisa berduaan dengan Mbak Lasmi nih, batinku bersorak melihat keadaan yang mendukung saat ini.
Mbak Laaaas…mi aku agak gemetar saat menyebut namanya.
Iya mas Mbak Lasmi menoleh sementara tangannya masih sibuk menggoreng ikan.
Aku segera duduk di kursi sambil melihat dia bekerja.
Mbak Lasmi tinggal dimana? tanyaku basa basi.
Selain penasaran dimana tinggalnya, aku juga sedikit heran karena Mbak Lasmi ini sering tiba tiba muncul tanpa ku ketahui kapan datangnya. Selain itu di sekitar rumah Mbah Suroso ini tak tampak rumah rumah lain yang berpenghuni.
Mbak Lasmi hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.
Kok tidak dijawab, mbak? tanyaku lagi.
saya tinggal di desa sebelah kok, mas jawabnya.
Desa sebelah mana, mbak?
Lagi lagi mbak Lasmi hanya tersenyum.
Sial …… aku dikacangin.
Sudah, masnya sekarang nunggu aja di meja makan. Masa mau disini terus. Apa masnya mau bantuin Lasmi? Tapi ini tinggal sebentar lagi sudah selesai kok, mas. Jadi tidak perlu deh bantu bantu Lasmi ujarnya seolah mengusirku.
Aku hanya menggaruk kepalaku yang tidak gatal lalu beranjak ke meja makan.
Siall….
Tak berapa lama, makanan yang dimasak mbak Lasmi sudah terhidang semua di meja makan. Sungguh aromanya sangat mengundang nafsu makanku. Sementara Itu mbah Suroso ku lihat berjalan kesini setelah tadi dipanggil oleh mbak Lasmi.
Wiiih makan enak nih ucap Mbah Suroso saat melihat aneka ikan dan sayur siap disantap.
Ayo nak, habiskan semuanya. Jangan malu malu. Kamu Lasmi juga cepatan duduk. Ayo kita makan bareng bareng ucapnya lagi padaku dan Mbak Lasmi yang masih berada di dapur.
Kami pun segera makan bersama. Memang sungguh lezat makanan buatan Mbak Lasmi ini. Aku yang memang kelaparan, tanpa ragu menghabiskan 2 piring nasi dan mencicipi semua makanan yang ada.
Setelah makan, aku lalu melangkahkan kaki ke kamar. Rasa kenyang membuatku tak bisa menahan kantuk. Mbah Suroso pun ku lihat berjalan lagi ke kamarnya. Sementara Mbak Lasmi membereskan sisa sisa makanan ke dapur.
Di tengah malam aku terbangun. Aku dengar suara yang tak asing lagi bagiku. Dengan bersijingkat dan mengendap endap, aku melangkah keluar kamar lalu menuju ke sumber suara itu.
“Ahhhh.. Ahhh.. Ahhh..” Suara erangan seorang wanita terdengar jelas.
Aku terhenyak sambil melotot tak percaya. Orang yang selama ini ku anggap sebagai dewa penolong, ternyata tak jauh beda dengan laki laki pada umumnya. Ku geser sedikit badanku agar tak terlihat oleh mereka. Sementara mataku masih tak berkedip melihat pemandangan erotis yang tersaji di depan mata.
Mbah Suroso terlihat begitu bernafsu memepet tubuh semok mbak Lasmi, sementara payudara mbak Lasmi sebelah kanan sudah keluar dari baju kebayanya. Remasan tangan Mbah Suroso membuat Mbak Lasmi merintih keenakan.
Jari jari tangan keriput itu kemudian bermain di ujung pentil Mbak Lasmi yang berwarna coklat sambil lumatan lumatan basah mereka lakukan. Kecap dan tetesan air liur dari kedua orang yang sedang di mabuk birahi itu membuat badanku semakin panas.
“Ahhhh.. Ahhh.. Ahhh..” Mbak Lasmi tampak tak bisa menahan lagi gairahnya.
Dengan sigap Mbah Suroso segera mempreteli baju kebaya beserta jarik yang di pakai Mbak Lasmi. Dua buah payudara besar berputing mancung itu membuatku meneteskan air liur. filmbokepjepang.com Saat aku melihat ke selangkangan Mbak Lasmi aku terperangah. Ternyata kemaluan mbak lasmi gundul tanpa rambut sama sekali. Gelembung memeknya begitu menggoda, selarik garis yang dalam di akhiri tonjolan klitoris yang merah merekah seakan mengundangku untuk menjilatnya.
Perlahan tubuh Mbah Suroso merunduk setelah mendorong Mbak Lasmi ke dinding kayu. Segera saja Mbah Suroso mencaplok kemaluan yang ada dihadapannya, membuat Mbak Lasmi menjerit keenakan setelah lidah kasar Mbah Suroso mencucuk dan menjilat klitoris yang semakin mancung itu.
“Ahhhh.. Ahhh.. Ahhh..”
Yang dalam lagi, Mbaaaaaaahhhhhh …… Aaahhhhhhh ucap Mbak Lasmi sambil meliuk liukkan tubuh telanjangnya.
Cloooppp cloooopppp….
Sssslllrruuppphh…..
Uuuuuuhhhh aaahhhhh …..
Dengan sangat bernafsu, Mbah Suroso menjilati memek itu. Suara kecipak hasil pertemuan antara memek Mbak Lasmi dan mulut Mbah Suroso terdengar jelas sambil di selingi suara sedotan mulut kakek tua itu yang seperti kehausan akan cairan kewanitaan perempuan.
“Ahhhh.. Ahhh.. Ahhh..”
Tangan tangan keriput tapi kekar milik Mbah Suroso kemudian bermain dengan lincah di kedua payudara besar Mbak Lasmi. Desahan wanita cantik itu semakin menjadi saat Mbah Suroso tiba tiba berdiri dan memasukan dua jarinya ke dalam kemaluannya, mengocoknya keluar masuk dengan sangat cepat dan kasar sambil kembali menciumi dan menyedot ludah Mbak Lasmi.
“Ahhhh.. Ahhh.. Ahhh.. terus mbah …. yang cepet ….. Ahhhh … Ahhh….”
Wajah Mbak Lasmi memerah karena terpaan birahi yang tinggi akibat perlakuan Mbah Suroso padanya. Dan tiba tiba saja kdua tangan Mbak Lasmi berubah posisi dari yang tadinya ikut meremasi kedua payudaranya berubah berada di kedua pundak Mbah Suroso.
“Ahhhh.. Ahhh.. Ahhh..” desah Mbak Lasmi semakin kencang.
Dengan gerakan cepat posisi mereka berdua sudah berganti. Sekarang giliran Mbah Suroso yang sedang dihimpit Mbak Lasmi di dinding kayu. Perempuan itu segera saja jongkok di hadapan batang perkasa yang sudah berdiri tegak yang masih tertupi oleh celana. Matanya berbinar sesaat setelah dia berhasil mempelorotkannya dan melihat penis itu ngaceng dengan sempurna.
Terlihat batang kemaluan kakek tua itu sangat besar dan kekar di penuhi dengan otot otot yang mengkilat. Tanpa membuang waktu, Mbak Lasmi segera saja mencaplok kedua buah telur di kemaluan Mbah Suroso dan memainkan nya dengan lidah. Sedangkan tangan kanan Mbak Lasmi mengocok batang kemaluan itu naik turun. Wajah Mbah Suroso menyeringai dan sesungging senyum terlihat di ujung bibirnya melihat kebinalan Mbak Lasmi.
Setelah puas menjilati kedua bola milik Mbah Suroso, Mbak Lasmi kemudian memasukan batang kemaluan sepanjang 18 centi itu kemulutnya lalu menyedotnya dengan pelan dan syahdu. Diperlakukannya penis itu seperti mainan yang sangat dinantikannya.
Mendapat serangan yang lembut dari Mbak Lasmi membuat Mbah Suroso merem melek keenakan. Segera saja dilepaskannya baju batik bergaris yang dia pakai, lalu dilemparkanya ke sudut ruangan. Kemudian diangkatnya tubuh indah Mbak Lasmi ke atas dan segera didorongnya tubuh dengan pantat besar dan kencang itu setengah bertelungkup di meja kayu yang ada di dalam ruangan. Kaki Mbak Lasmi segera saja sedikit merenggang, bagian kepala sampai pinggulnya tertelungkup di atas meja.
Mbah Suroso yang berdiri di belakang pantat besar itu, sedikit mengambil air ludahnya dengan tangan kanan dan mengoleskannya di vagina merah Mbak Lasmi. Lalu dengan perlahan dan dibantu dengan tangan kanannya , Mbah Suroso memasukan penisnya yang sudah tegang maksimal kedalam memek Mbak Lasmi.
Aahhhhhh….Ahhhhh suara mereka terdengar bebarengan saat penis itu sudah sepenuhnya masuk kedalam liang senggama.
Terlihat mbak Lasmi menikmati setiap genjotan dari penis Mbah Suroso. Pinggulnya bergerak bergoyang mengikuti irama goyangan lelaki tua itu. Sementara tangan kanan Mbak Lasmi memelintir puting susu sendiri dan tangan kirinya membantu Mbah Suroso untuk memainkan clitorisnya.
“Terus mbahh.. Terusss… “
“Memek kamu….. enak …. Nduk… aahhhhhhh “
Melihat Mbak Lasmi dan Mbah Suroso penuh keringat, tanpa ku sadari tanganku masuk perlahan kedalam celana. Lalu aku urut pelan batang penisku yang mulai menegang.
Mbah Suroso lalu menghentikan pompaannya dan bergantian terlentang di atas meja. Mbak Lasmi kini yang berada di atas dan mengambil kendali atas permainan itu. Dengan posisi seperti ini tubuh Mbak Lasmi terekpose jelas dari pandanganku. Dada sebesar buah pepaya dengan puting berwarna coklat. Mbak Lasmi mencoba membetulkan posisi duduknya. Kini batang penis Mbah Suroso diarahkan tepat ke lubang kemaluan mbak Lasmi.
Bleeessssssssss…..
Aaahhhhhh…uuuhhhhh….aaaahhhhhh
Mata mbak Lasmi memejam saat batang penis Mbah Suroso mulai memasuki lubang vagina miliknya. Secara perlahan mbak Lasmi menggerakkan pinggulnya naik turun. Dan sesekali dibuatnya seperti gerakan memutar. Payudaranya ikut bergerak seirama dengan gerakan pinggulnya. Sementara Mbah Suroso lebih banyak diam dan menikmati setiap gerakan dari perempuan yang berada diatasnya itu.
Memekmu semakin enak nduk, penisku rasanya diremas-remas.
Penis Mbah juga semakin enak…… Mbah….. rasanya memekku penuh banget….. Ahhhh.
Bulir bulir keringat mulai terpancar dari dua wajah yang penuh birahi itu.
Sekitar 10 menit Mbak Lasmi mulai mempercepat tempo gerakannya dan sesekali memuntir putting susunya sendiri. Gerakan pinggulnya pun semakin tidak beraturan, diiringi suara gaduh dari ranjang dan mulut Mbak Lasmi. Dan sesekali Mbah Suroso menaikan pinggulnya untuk membantu memompa vagina dari mbak Lasmi.
Lebih kencang mbah, Lasmi mau keluar
Aahhhhhh….Ahhhhh
Bukannya membantu mempercepat kocokannya, Mbah Suroso justru menghentikan gerakannya dan membiarkan Mbak Lasmi bergerak sendirian. Gerakan pinggul mbak Lasmi semakin tidak beraturan dan di akhiri dengan robohnya tubuh mbak Lasmi ke arah Mbah Suroso.
Aku yang masih belum dapat berkedip melihat pergumulan mereka juga tidak kalah untuk mempecepat kocokan tangan pada batang penisku. Rasanya ada sesuatu yang ingin meledak dari ujung penis. Lalu dengan sekali sentakan, keluarlah cairan putih yang menyemprot ke dinding bambu milik Mbah Surosio. Setelah menyelesaikan kocokan terakhirku aku mencoba untuk mengatur nafas sebentar dan memulai lagi mengarahkan mataku ke arah pergumulan mereka tadi.
Terlihat permainan mereka sudah dimulai kembali. Saat ini Mbah Suroso berada dibelakang Mbak Lasmi dengan posisi pantat tepat menghadap ke arahku. Sehingga memek mbak Lasmi terlihat jelas dari sini. Memek tembem tanpa bulu yang sedang dimasuki penis tua berwarna coklat kehitaman dan sedikit urat yang menyembul keluar. Tangan Mbah Suroso bergerak aktif meremas remas payudara yang kini berada didepannya itu. Diikuti jilatan pelan ke arah leher dan juga telinga dari mbak Lasmi.
Penisku yang sebelumya sudah tertidur kini ikut mengeras menyaksikan persetubuhan erotis yang ada dihadapanku.
Ekspresi wajah Mbak Lasmi terlihat sangat menikmati setiap gerakan yang dilakukan oleh Mbah Suroso. Sedangkan orang tua itu masih belum ada tanda-tanda untuk menghentikan aksinya.
Saat aku sedangkan berkonsentrasi dengan penis yang ada diselangkanku, mereka tampaknya sudah kembali merubah posisi. Saat ini mbak Lasmi kembali ditindih oleh Mbah Suroso. Kakinya agak tertekuk dan Mbah Suroso memompa pelan lubang nikmat yang ada dibawahnya.
Plokkkk ploookkk ploookkk..
Suara pertemuan selakangan Mbah Suroso dan pantat indah mbak Lasmi terdengar syahdu.
Sedangkan aku masih menggosok pelan batang penis yang ada diselakanganku. Kalau saja aku yang ada di posisi Mbah Suroso pasti rasanya akan sangat berbeda.
Arrrggggghhh Tak terasa aku melenguh pelan sambil terus mengocok batang penisku sementara mataku tetap menatap penis besar itu keluar masuk vagina Mbak Lasmi.
Ndukk, aku mauu keluaarrrr ucap Mbah Suroso sambil mempercepat gerakan dari pinggulnya.
Aarrrgghhh, terus mbah, terusss, aku juga mau keluar.
Terlihat Mbah Suroso semakin mempercepat gerakan gerakan pinggulnya diakhiri dengan gerakan mengejang yang dilakukan oleh mbak Lasmi.
“Aaaaaaaarrrggghhhhh…..Ndukk..”
Sebuah lenguhan keras Mbah Suroso terucap sebelum dia ambruk diatas tubuh telanjang pasangan birahinya.
“Ooouuhhh Mbaah nikmat sekali rasanya….” sambil terengah engah Mbak Lasmi melepaskan orgasmenya. Sementara matanya langsung terpejam sembari mengatur nafasnya
Aku yang ikut terangsang dengan hal itu ikut mempercepat kocokan pada batang penisku. Dan kembali ada sesuatu di ujung penis yang sudah tidak dapat aku tahan lagi.
Crot..Crot..Crott.. Crott..
Belum sempat aku mengatur nafas, ku lihat Mbah Suroso bangkit lagi dan aku mendapatkan sebuah tatapan menyeringai darinya.
Upppssss….
Mati aku….
*****************************************
Setelah melihat kejadian itu dan merasa terpergok oleh Mbah Suroso, aku jadi bimbang. Apakah aku perlu mengikuti ajakan mbah Suroso 3 hari nanti ? Ataukah aku sebaiknya pulang saja ke rumah ? Ahh .. aku jadi galau dibuatnya.
Namun setelah ku pikir pikir, mungkin ada baiknya aku tetap pada keyakinan awalku. Selain aku masih penasaran, firasatku mengatakan bahwa apa yang akan ditunjukkan oleh Mbah Suroso nanti bukanlah suatu kejadian biasa. Pasti akan jadi pengalaman yang sangat berarti bagiku. Tentang tingkah menyimpangnya itu biarlah akan tetap menjadi rahasiaku.
Akhir akhir ini aku agak merasa malu saat ngobrol dan bercengkrama dengan Mbah Suroso atau Mbak Lasmi akibat kejadian tempo hari itu. Tapi ku rasa mereka tidak menganggap penting perubahan sikapku. Mereka tampak biasa biasa saja. Jadi aku merasa agak sedikit lega.
3 hari tanpa terasa cepat berlalu..
Dan malam nanti adalah saat yang dijanjikan oleh Mbah Suroso. Aku sempat sedikit gugup dan cemas menghadapinya. Namun ku bulatkan tekadku untuk mnegikuti kata hatiku.
Tepat jam 11 malam.
Kini aku sudah siap untuk mengikuti kemana mbah Suroso mengajakku pergi. Setelah berbenah dan menyiapkan segala sesuatunya, aku menunggu Mbah Suroso di depan rumah. Malam ini memang adalah puncak purnama. Jadi memang momen yang pas untuk melakukan sesuatu.
Ku lihat Mbah Suroso pun sudah siap. Yang membuatku heran, tak ada satupun barang yang dibawanya.
Lho Mbah kok tidak bawa apa apa? tanyaku
Emang harus bawa apa? Mbah Suroso bertanya balik.
Kan kita mau pergi melihat sesuatu, Mbah ucapku agak jengkel.
Mbah Suroso hanya terkekeh.
Nak nak, buat apa bawa barang yang aneh aneh. Lha wong kita akan melihatnya itu disini kok
Aku kembali melongo.
Sudah sudah tidak perlu dibahas lagi. Kamu siap siap saja. Karena tepat tengah malam nanti, akan Mbah perlihatkan segalanya. Sekarang kamu duduk bersila disini. Pejamkan mata dan mulailah bersemedi ucap Mbah Suroso lagi sambil duduk dan menepuk nepuk tanah.
Aku lalu mengikuti semua perintah Mbah Suroso. Aku lalu duduk disamping beliau. Lalu perlahan ku tenangkan pikiran, memejamkan mata dan mulai bersemedi.
Sekarang begitu tenang dan damai ku rasakan. Entah berapa lama aku duduk disini. Hembusan dingin angin malam yang menerpa tubuh, tidak sekalipun mengganggu konsentrasiku saat bersemedi. Jiwa ragaku terfokus untuk menyatu dengan alam.
Lalu ku dengar suara Mbah Suroso berkata
Pelan pelan , bukalah matamu sekarang
Aku lalu membuka mataku. Masih tampak gelap awalnya. Lalu perlahan lahan ada cahaya terang mulai tampak.
Aku sungguh terkejut.
Dihadapanku kini tampak 3 liang lahat dengan masing masing berisi jenazah. Entah jenazah siapa aku tak tahu. Yang jelas keadaan 3 jenazah itu berbeda beda.
Di liang pertama, ku lihat jenazah yang putih bersih dengan 5 payung mengelilinginya.
Di liang kedua, jenazah lusuh yang terantai di tangan dan kaki serta badannya.
Di liang ketiga, jenazah yang tertimbun tanah sekujur tubuhnya dan hanya terlihat kepalanya saja.
Berdirilah, nak. Ayo kita lihat masing masing liang itu ucap Mbah Suroso.
Aku pun segera berdiri dan mengikuti Mbah Suroso. Kami bediri di liang pertama.
Kenapa jenazah ini masih bersih dan ada payungnya, Mbah? tanyaku.
Mbah Suroso hanya tersenyum lalu jarinya direntangkan seperti membentuk angka 5.
5 ? 5 apa mbah ?
Itu rahasia hidup, nak. Yang jelas orang ini semasa hidupnya memegang teguh prinsip dan keyakinannya akan 5 hal
Aku jadi berfikir fikir sendiri. 5 hal ini apa ya ?
Sudah jangan terlalu difikirkan. Biarlah itu menjadi Rahasia Tuhan dan menjadi pertanyaan yang dicari sendiri jawabannya oleh manusia
Lalu tiba tiba ada kejadian yang sama sekali tak ku duga. Ada hujan batu api raksasa yang menerpa jenazah ini. Dan yang membuatku takjub adalah payung payung yang mengelilinya tiba tiba melebar dan menyatu untuk melindunginya. Lalu dari dalam tanah muncul air dengan bau busuk yang sangat menyengat membasahi jenazah itu. Dan lagi lagi hal yang tak masuk akal terjadi. Gagang payung itu membesar lalu mengait dan mengangkat jenazah itu keatas hingga tak tersentuh air. Begitu seterusnya dan berulang ulang.
Sungguh sebuah hal yang membuatku terkesan. Beruntung sekali jenazah itu.
Lalu kami berjalan menuju ke liang kedua.
Tampak sebuah jenazah yang membuatku miris melihatnya. Ada rantai dari dalam tanah yang melilit tangan, kaki dan badannya. Sementara kain yang membungkusnya tampak lusuh dan kumal.
Kenapa jenazah itu dirantai, Mbah? tanyaku lagi.
Mbah Suroso hanya tersenyum.
Lihatlah baik baik setelah ini balasnya.
Dan tak lama kemudian, dari atas muncullah palu godam yang sangat besar seukuran drum yang langsung memukul jenazah itu dengan keras.
Bbbbuuuuummmmm….
Aaaaaaaaaarrrhhhhggghhhh…
Tubuhnya langsung hancur tak berbentuk lagi. tapi tak lama kemudian remukan badannya kembali menyatu dan palu itu kembali menghantamnya.
Bbbbuuummmmm….
Aaaaaaaarrrrggggghhhhh….
Aaaaammmpuuuunnnnnn….
Ku dengar jeritan yang memilukan dan menyayat hati. Kejadian itu terus berulang terjadi. Jenazah yang utuh , terhantam palu, remuk lalu menyatu utuh kembali. Dan tak cukup sampai disitu, dari dalam tanah muncul kalajengking yang sangat banyak langsung mengerubuti sang jenazah malang. Kalajengking itu mencabik cabik dan menggerogoti tubuhnya, sementara dari atas dentuman palu godam tak henti hentinya menerpa tubuhnya.
Sungguh aku sampai tak kuasa untuk melihat penderitaannya.
Tanpa perlu Mbah Suroso jelaskan, aku tau pasti semasa hidupnya jenazah ini mungkin termasuk orang orang yang melenceng dari ajaran agamanya dan kufur nikmat.
Lalu kami tiba di liang terakhir. Ku lihat jenazah yang tampak ironis sama seperti jenazah di liang kedua. Namun kali ini kulihat sesuatu yang berbeda.
Didalam liang ini tampak kobaran api di sekelilingnya. Sementara tanah yang menutupi badan mencoba melindungi tubuhnya agar api itu tak sampai mengenainya. Namun kepalanya yang tidak terkena tanah, langsung terbakar api yang sangat panas itu. Kulit nya langsung mengelupas dan menyisakan sebuah tengkorak yang hangus.
Lalu dari arah samping, ada sebuah cambuk yang langsung memecut tubuh tak berdaya itu. Untung saja ada tanah yang membungkus tubuhnya tapi tetap saja ku lihat ada raut kesakitan di wajahnya. Dan sama seperti di liang liang yang lain, kejadian itu terus berulang terjadi.
Aku bergidik ngeri melihat semuanya. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat sulit untuk aku lupakan.
Mbah Suroso lalu menarik tanganku dan berkata.
Sudah cukup sampai disini saja, nak. Semua yang kamu lihat ini suatu saat nanti akan kamu rasakan ucapnya pelan lalu mengeluskan tangannya ke mataku dan tak lama kemudian aku tergeletak pingsan.
*****************************************
Tanpa terasa 3 minggu sudah aku berada di rumah Mbah Suroso. Berbagai kejadian diluar nalar sering ku jumpai. Sungguh ini sebuah pengalaman yang tak akan mungkin aku lupakan. Sedikit demi sedikit, aku sudah mulai terbiasa menghadapi situasinya.
Mbah Suroso selalu datang ketika aku sedang mengalami kejadian yang menakutkan. Beliau sangat banyak membantuku dalam menghadapi berbagai kejadian mistis selama ini. Banyak pula nasehat yang di sampaikannya dan tak jarang kami berdua melakukan aktifitas spiritual bersama. Dia sudah ku anggap seperti kakekku sendiri.
Sementara Mbak Lasmi masih menjadi misteri bagiku. Kedatangannya yang sering tiba tiba selalu diakhiri dengan kepergian yang tak tersentuh jejaknya. Entah dimana selama ini dia tinggal, aku tak pernah mendapat kepastian. Mempertanyakannya pada Mbah Suroso juga tidak menghasilkan jawaban yang memuaskan.
Mbah, saya sekarang mau pamitan. Terima kasih atas banyak hal yang Mbah lakukan selama ini. Aku tidak akan melupakannya. Nanti kalau ada kesempatan, aku akan berkunjung kesini lagi ucapku berpamitan sambil mencium tangannya.
Lalu Mbah Suroso mengelus elus kepalaku.
Iya, nak ucapnya sendu.
Sungguh rasanya agak berat ketika aku memutuskan untuk pergi sekarang. Tapi berada disini selamanya pun tak mungkin. Ada ibu yang mungkin saat ini bingung mencari keberadaanku. Tanpa terasa air mataku menetes saat ku peluk tubuh Mbah Suroso.
Jaga diri mbah baik baik ya. Nanti akan ku ajak Ibuku untuk kesini mengunjungi Mbah. Ku harap kita bisa bertemu lagi secepatnya, mbah ucapku sesenggukan sambil tetap memeluk erah tubuhnya.
Salam juga buat Mbak Lasmi ya, mbah. Maaf aku tidak bisa berpamitan secara langsung
Mbah Suroso semakin memeluk erat tubuhku. Kini kami berdua menangis bersama.
Iya, nak ..Iya
Setalah ku rasa cukup kami saling bersedih, aku lalu berjalan meninggalkan rumah ini.
Nak..
Ku dengar Mbah Suroso memanggilku.
Kenapa Mbah?
Sini mendekatlah
Aku lalu berjalan mendekatinya dengan bertanya tanya. Apalagi yang akan dilakukan Mbah Suroso ??
Pejamkan matamu sekarang, nak. Lalu hitunglah dalam hati sampai 5 bisik Mbah Suroso sambil mengeluskan tangannya ke mataku.
Tanpa banyak bertanya lagi, aku segera menutup mataku dan mulai menghitung.
1
2
3
4
5
Begitu dalam hati aku sudah menyebut angka 5, lalu aku membuka mata. Sungguh aku terkejut setengah mati. Sekarang aku sudah berdiri dan sampai di depan rumahku sendiri. Apa yang tadi dilakukan Mbah Suroso kepadaku ???
Bergegas aku masuk ke dalam mencari ibu. Kangen rasanya hati ini setelah sekian lama tak saling bertatap muka. Ada rasa bersalah juga karena aku sedikit mengingkari janjiku untuk selalu menjaganya.
Ku lihat ibu sedang terisak dikamarnya. Begitu aku melihatnya, langsung ku tabrak dan memeluk erat tubuhnya.
Bu…. aku kangen, bu.. ucapku sambil menitikkan air mata.
Ibu yang kaget saat aku langsung memeluknya, juga langsung ikut menangis. Di elus elusnya kepalaku sambil di kecupnya berkali kali keningku.
Kemana saja kamu, nak. Ibu sampai bingung mencarimu selama ini tangis ibu semakin pecah saat menatap wajahku.
Maafkan aku, bu. Maafkan aku. Aku janji tidak akan meninggalkan obu lagi balasku sambil menciumi kedua pipinya yang sudah basah oleh air mata.
Lalu setelah tangis kami mereda, aku mulai menceritakan kemana aku pergi selama ini.
Jadi 3 minggu ini aku tinggal di rumah kakek tua di desa sebelah, Bu. Namanya Mbah Suroso. Beliau yang merawat dan menjagaku. Dia baik sekali, bu. Kapan kapan kita kesana menjenguknya ya, Bu
Ku lihat ekspresi terkejut di wajah ibu.
Siapa nak ? Mbah Suroso ? tanyanya memastikan setelah aku tadi menyebut nama Mbah Suroso. Aku cuma menganggukkan kepalaku.
Dia kasihan cuma tinggal seorang diri, Bu
Ku lihat tatapan ibu berubah sekarang. Matanya menatap tajam ke arahku.
Apakah Mbah Suroso itu agak bungkuk, Nak ? Lalu jenggot dan kumisnya sudah putih semua? Terus tingginya cuma sekitar sepundakmu ini ?
Aku terkejut bagaimana Ibu bisa tau keadaan Mbah Suroso. Aku hanya menganggukkan kepala lagi.
Lalu ku lihat Ibu mulai menangis kembali. Aku jadi terheran heran. Apakah Ibu dan Mbah Suroso pernah bertemu sebelumnya ?
Bu, kenapa ibu menangis? Apa Ibu mengenal Mbah Suroso? Tanyaku lagi meminta penjelasan darinya.
Lalu sambil mengusap air matanya, ibu melangkah menuju almari. Di bukanya sebuah laci dan diambilnya sebuah kotak persegi berwarna merah yang tersimpan disana. Kemudian beliau duduk lagi disebelahku sambil membuka kotak itu.
Ku lihat ada sebuah album foto yang tampak lusuh tersimpan di dalam kotak. Album foto siapa ini ? apakah ada hubungannya dengan Mbah Suroso ? batinku penasaran.
Dan ketika ibu menunjuk sebuah foto, darahku langsung berdesir. Detak jantungku bergerak cepat sementara logika ku seolah mati seketika.
Dia kakekmu, nak. Kakek yang belum sempat menggendong cucunya ucap Ibu dalam isak tangisnya.
Aku terdiam dan hanya bisa meneteskan air mata lagi. Jadi Mbah Suroso ini adalah kakek kandungku ?
Menerima kenyataan ini, membuatku merasa sangat bersalah. Andai ku tau dia kakekku, pasti langsung ku ajak dia pulang kesini. Tapi ada suatu hal yang menggangu pikiranku dan perlu ku pastikan.
Lalu kenapa Mbah Suroso tinggal disana sendirian, Bu? ucapku pelan sambil menatap wajah Ibu.
Mbahmu sudah meninggal, nak
Dhuuuaarrrr..
Rasanya dunia langsung runtuh saat ini juga. Kenyataan macam apalagi ini.
Pikiranku benar benar kacau saat kenyataan ini terasa berat ku terima. Lalu mataku langsung melotot saat ibu tanpa sengaja membalik foto lagi dan aku mendapati wajah seseorang yang sangat aku kenal.
Bu, kalau ini Mbak Lasmi kan? tanyaku getir.
Ganti wajah Ibu yang menunjukkan keterkejutannya.
Ba…Ba..Bagaimana kamu tau , Nak? tanya ibu lagi sambil menatapku tak percaya.
Mbak Lasmi ini yang merawat dan memasakkan makanan untuk Mbah Suroso setiap hari, Bu ucapku sambil tak percaya saat melihat foto Mbak Lasmi sedang tertawa renyah bersama seorang anak seusianya dan mereka tampak mirip sekali.
Lalu ku pandangi wajah Ibu. Walau ada segurat yang tampak berbeda, namun aku bisa memastikan mereka terlihat sangat mirip. Jangan jangan mereka ini…..
Lasmi itu saudara kembar ibu, nak .. Dia juga sudah meninggal saat Ibu masih perawan dulu
Dhuuuuaaarrrrr…..
Kembali aku langsung shock saat mendengar kenyataan pahit yang ku terima.
Sungguh tak bisa ku lukiskan apa yang ku rasakan saat ini.
Mbah Suroso kakek kandungku.
Mbak Lasmi saudara kembar ibuku.
Lasmi, Lastri.
Kenapa aku tidak meyadarinya saat pertama kali bertemu Mbak Lasmi dulu. Memang sempat ku rasakan dia mirip dengan Ibuku tapi aku benar benar tak menduga kalau ternyata mereka adalah saudara kembar.
Ah rasanya semakin pusing saja kepalaku sekarang. Aku masih berat menerima semuanya.
*****************************************
Nak, kamu yakin mau kesana? tanya ibuku.
Aku mengangguk mantap.
Keesokan harinya, setelah aku bisa menenangkan diri, aku memutuskan untuk mengunjungi makam Mbah Suroso dan Mbak Lasmi. Eh Budhe Lasmi. Karena Ibuku keluar duluan, maka Lasmi lah yang dianggap sebagai kakaknya. Jadi aku harus memanggilnya Budhe.
Makam Mbah Suroso dan Budhe Lasmi masih satu tempat dengan makam Bapak. Hanya berbeda letaknya. Jadi aku bisa mengunjungi makam mereka bertiga sekaligus.
Aku pamit dulu ya, Bu ucapku sambil melangkahkan kaki keluar rumah.
Ibuku hanya terdiam mematung dan tampak bersikap dingin. Ku lihat wajahnya agak pucat. Mungkin ibu hanya lelah, pikirku. Aku lalu bergegas melanjutkan langkahku.
Namun rasanya perasaanku tidak enak kali ini. Entah mengapa ku lihat ada yang berbeda dari sikap dan wajah Ibu. Baru 10 langkah aku berjalan, aku lalu menoleh ke belakang untuk memastikan perasaanku an melihat apakah Ibu masih berdiri di depan pintu atau tidak.
Begitu aku menoleh, tampak kobaran api muncul di depan rumah. Namun begitu aku mengucek mata, ku lihat ternyata Ibu masih berdiri memandangiku. Aku mengucek mata lagi untuk memastikan penglihatanku. Masih tampak Ibu disana. Ah sepertinya tadi hanya salah lihat saja, batinku.
Aku segera bergegas menuju ke makam. Ada banyak doa yang harus ku panjatkan untuk mereka nanti. Sungguh rasanya hatiku masih menyangkal dan tak mempercayai kalau mereka bertiga kini sudah tiada.
Begitu aku sampai di makam, aku segera mencari nisan yang tadi dikasih tau oleh Ibu. Tidak sulit mencarinya karena letak liang lahat Mbah Suroso berada agak di pinggiran. Sementara liang Budhe Lasmi letaknya juga bersebelahan dengan liang Mbah Suroso.
Segera aku memanjatkan doa untuk mereka secara bergantian. Tak lupa ku tebarkan bunga juga di batu nisannya. Setelah itu aku berjalan menuju ke liang lahat bapak untuk memanjatkan doa bagi beliau.
Batu nisan bapak tampak kusam kurang terawat. Tanahnya juga sudah rata. Berbeda dengan 2 liang dan batu nisan yang berada disebelahnya yang masih terlihat putih dan banyak bunga bertaburan. Hmm.. tampaknya ada yang baru saja meninggal dan di makamkan di sebelah Bapak.
Aku lalu duduk bersimpuh di depan makam bapak. Ku panjatkan doa yang tulus untuk kebahagiaannya di alam sana. Entah berapa lama aku berdoa, aku tak menyadarinya sampai akhirnya kram ku rasakan di kaki.
Aku lalu berdiri untuk mengurangi rasa sakit ini. Pandanganku tergelitik untuk menatap batu nisan di sebelah Bapak yang namanya tertutupi oleh untaian bunga. Siapa kira kira yang meninggal itu ?
Lalu aku melangkah berputar untuk melihat nama yang tertulis dibalik untaian bunga itu. Begitu aku menyibak bunga, tubuhku langsung terasa lemas.
SULASTRI
Lahir : 5 Mei 1972
Wafat : 12 Februari 2012
Itu …
Itu ..
Nama dan tanggal lahirnya sama persis dengan nama dan tanggal lahir ibu.
Lalu mataku menoleh ke makam yang berada di sebelahnya.
Deggghhh…
AGUNG PRASETYO
Lahir : 9 Agustus 1994
Wafat : 12 Februari 2012
Itu namaku dan tanggal lahirku tertulis dibatu nisan.
Jadi selama ini aku ???
Aku ???
Nak….
Ku rasa ada tepukan pelan di bahu dan ku dengar suara yang tak asing lagi.
Aku lalu menoleh dan mendapati Mbah Suroso berdiri tersenyum memandangku.
Ayo kita pulang, nak…….
************** T A M A T *************,,,,,,,,,,,